Tugas Pembantuan Pemilik Suara Tuhan

kursi wakil rakyat

PADA sebuah ruang dan waktu, di salah satu kantor dinas. Seorang kepala dinas dengan wajah serius banyak berujar. Tentang tanggung jawab yang diemban. Tentang hubungan baik dengan mitra. Ya tentang apa pun, tentang banyak hal.

Satu hal yang nendang tentang ini: perilaku legislatif. Menurutnya, banyak perubahan perilaku legislatif. Jika dulu cenderung idealis, moralis, dan realis. Sekarang cenderung banyak yang realis. Maksudnya realistis.

Semula saya masih kurang mengerti dengan istilah realistis itu. Setelah mendapat penjelasan, intinya mengarah pada hal-hal yang cenderung pragmatis. Sampai di sini baru tahu arah pembicaraannya.

Pasti soal bagi-bagi kue kekuasaan. Pasti urusan tahu sama tahu. Pasti juga soal urusan proyek. Ya seputar itulah, tidak jauh.

Ini sebenarnya bukan cerita baru. Seperti lagu lama yang diaransemen baru. Menarik karena apa pun kalau diaransemen ulang akan memantik situasi baru. Setidaknya, seperti penggambaran kepala dinas tadi: jumud atas jemawanya wakil rakyat.

Jumud karena persoalan yang ada tak berujung. Dikasih hati masih minta rempelo. Dari hidung ke mulut. Dari program satu ke program yang lain. Jauh dari prinsip lakonah lakoneh, kennengannah kennenge.

Untuk urusan bagi-bagi kue, politikus memiliki akal, yang meski tak seperti Abu Nawas, tapi cukup cerdik dalam nalar kancil dan buaya. Ya, selalu ada jalan menuju Roma. Kira-kira begitu.

Sejatinya wakil rakyat seperti ”wakil Tuhan”. Selain suara rakyat ”suara Tuhan” tugas dan fungsinya seperti menentukan takdir. Begitu berkuasa dan final.

Kita semua maklum, legislatif saat ini memang begitu cerdik. Meski berbaju legislatif, tapi cerdik menggunakan baju eksekutif, selain tentu saja fungsi yudikatif juga melalui fungsi legislasinya.

Logika proyek dalam ranah P2SEM (Program Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat) DPRD Jatim yang banyak mengantarkan orang ke penjara, sesungguhnya masih lestari hingga kini.

Istilahnya saja yang berbeda. Ada yang proyek jasmas (jaring aspirasi masyarakat), ada yang PIPEK (program infrastruktur pemberdayaan ekonomi kerakyatan). Ada juga yang terbaru: Pokir (Pokok-Pokok Pikiran) DPRD.

Semuanya, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan evaluasi dari sana. Maksudnya, ya semuanya ada campur tangan legislatif. Istilahnya, ya paket lengkaplah, empat sehat lima sempurna.

Di sini, teori pemisahan kekuasaan dalam trias politika, seperti tak jalan. Bagaimana mungkin, fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif bisa dilaksanakan semua oleh mereka dengan predikat terhormat itu. Sungguh miris.

Pada akhirnya, lakon politik para pemilik suara Tuhan itu makin menjauhkan dari kesejatian sebagai wakil rakyat. Mereka yang merasa mendapat amanah rakyat, tak jarang tampil berkhianat atas nama aspirasi.

Alhasil, ilmu politik yang kerap mengajari tata cara mengukur kinerja wakil rakyat dengan trifungsi (penganggaran, pengawasan, dan legislasi) itu, kini seolah perlu dipelajari ulang. Ini karena fungsinya tidak lagi hanya pada trifungsi tadi. Tapi, bertambah fungsi lain: fungsi eksekusi.

Sebuah fungsi yang seperti tugas tambahan atau tugas pembantuan. Ironis memang. Tapi biarlah, namanya saja pemilik ”suara Tuhan”. Maaf.

Oleh: Akhmadi Yasid (Senior Editor Jawa Pos Radar Madura)

 

Tugas Pembantuan Pemilik Suara Tuhan

You May Also Like

About the Author: Arudam

Sekedar menulis catatan kecil tentang Madura

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *