Pesantren, Pasca Selesainya Jembatan Suramadu

Pesantren, Pasca Selesainya Jembatan Suramadu

Pesantren selama ini dikenal dengan sebuah institusi pendidikan keagamaan dan transformasi sosial yang dikenal sangat kukuh menjaga nilai-nilai keragaman, perbedaan, serta sangat akomodatif terhadap budaya lokal. Pesantren sejatinya merupakan produktivitas islam modern maupun semi modern  yang bergerak dalam lingkup pemberdayaan masyarakat dan sosial, begitu juga dengan kegiatan pesantren merupakan pelatihan menjadi masyarakat sosial yang menaati undang-undang yang berlaku di pesantren itu sendiri.

Selain itu Pesantren juga dikenal sebagai salah satu lembaga yang  tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan baik umum maupun keagamaan, tetapi juga mendidik santri supaya menjadi insan yang bertanggung jawab, disiplin, mandiri dan menjadi khalifah fil ardh.

Setidaknya ada tiga elemen yang membuat pesantren mampu menjadi sub-kultur tersendiri. Pertama, pola kepemimpinan yang mandiri dan tidak terkooptimasi kepentingan-kepentingan berjangka pendek. Elemen ini sungguh sangat penting bagi pesantren. Artinya, atasan seorang kiai itu hanyalah Allah. Tidak ada kelompok politik, aparatur negara, birokrat, atau manusia lain, yang bisa mengintervensi terlalu jauh di dunia pesantren.

Pola kepemimpinan seperti itu membuat pesantren menjadi unik. Kedua, kitab-kitab rujukan yang digunakan di banyak pesantren, umumnya terdiri dari warisan peradaban Islam dari berbagai abad. Kalau itu dikaji betul, pengetahuan yang akan diserap para santri akan sangat luas sekali. Dari situ mereka tidak hanya belajar bagian fikih yang rigid, sempit, kaku, hitam-putih, dan halal-haram saja, tapi juga ilmu-ilmu ushul fikih, kalam, tasawuf, dan lain-lain.

Semua itu menunjukkan kearifan dan keindahan Islam. Mestinya itu akan membentuk wawasan keislaman yang padu dan utuh bagi santri, karena mereka mendalami agama tidak sekadar pilihan hitam-putih yang nampak di permukaan. Sementara elemen ketiga sub-kultur pesantren adalah sistem nilai atau values system yang diterapkan di pesantren itu sendiri. Sistem nilai itulah yang nantinya akan dibawa dalam proses kehidupan mereka di masyarakat.

Akan tetapi seiring dengan semaraknya arus-arus informasi dan semakin berkembangnya teknologi yang canggih juga semakin beralihnya budaya yang masuk ke negeri tercinta ini tanpa terkecuali pesantren yang ada didalamnya sudah mulai terkikis. Sehingga akan terjadi deglarasi moral secara besar-besaran. Apalagi Kini jembatan suramadu tersebut sudah rampung. Namun persoalannya, secara SDM siapkah masyarakat Jatim khususnya masyarakat Madura dengan adanya suramadu ini?

Sesuai prediksi, pembangunan Suramadu semua industri baik disengaja atau pun tidak, akan masuk secara deras tanpa bisa dibendung. Arus industri akan cepat menggilas kondisi sosial budaya yang ada di Madura. Entahlah kalau diseret ke dalam, apakah di penuhi berbagai tebing curam yang mengalir darah perih pada setiap sendi dan nadi keberlangsungan hidup masyarakat Madura atau bahkan lebih parah. Kenyataan pahit sebentar lagi akan membentang panjang jika kita terus menerus tidak peka melihat realitas yang sedang berlangsung dan memberikan ruas warna berbeda pada pra-pembangunan.

Di sinilah peran penting pesantren notabene sebagai benteng dan pusat pendidikan Islam untuk memanusiakan manusia melalui penyuluhan pendidikan intelektual Islam dan pendidikan moral kepada para santri dan masyarakat menjadi pertimbangan mendasar di masa-masa pra operasi Suramadu. Artinya, Pesantren yang di dalamnya terdiri dari Kiai dan Santri dituntut agar tidak tinggal diam memberikan kontribusi kepada masyarakat agar betul-betul siap menghadapi hari jadi Suramadu.

Penulis mencoba memetakan beberapa problematika pesantren yang harus mendapat perhatian menyongsong oprasi Suramadu yang tidak lepas dari problem internal dan eksternal.

Pertama, aspek internal Pesantren. Saat ini, banyak para kiai pengasuh pesantren tergiur ikut politik praksis yang tidak tahu menahu persoalan realitas sosial di bawah seperti apa, segala fatwa disampaikan demi untuk mendapat dukungan banyak. Maka seorang Kiai (selagi menjadi pengasuh pondok pesantren) harus mempunyai sifat netral (oposisi) dalam persoalan politik praktis. Lantas siapa kalau bukan kiai yang akan memegang kendali? Sebagai motor utama untuk memajukan SDM. Kemudian, pesantren harus lebih memberikan ruang gerak terhadap kreativitas para santri untuk mengembangkan bakat dan minat masing-masing tanpa ada unsur paksaan menindas ujung-ujungnya akan menghilangkan gairah belajarnya yang tinggi.

Kedua, aspek eksternal. pesantren jangan sampai memisahkan diri dari perkembangan ilmu teknologi yang semakin canggih. Sebab disadari atau tidak, dengan pesatnya iptek jika kita tidak menyiasatinya akan terus dijadikan bulan-bulanan dari pesatnya perkembangan gelombang modernisasi.

Keberlangsungan peradaban informasi sedang kita rasakan, Seorang peramal ulung, Alvin Toffler mengatakan barang siapa menguasai informasi maka akan menguasai dunia. Sesuai sejarah, pesantren ikut andil dalam proses kemerdekaan indonesia, yakni sebagai pusat pertahanan orang-orang religius “IslamI” untuk mempertahankan negara dari segala penindasan para penjajah. Seyogyanya di era ini, pesantren harus mampu menyelamatkan bangsa dari ketertindasan global yaitu mempertahankan diri dari arus yang begitu dahsyat ini.

Mempertahankan dari gelombang informasi bukan berarti pesantren harus meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan “esoterik” dan “ekstoreik” yang menjadi ruh nilai-nilai profetik pesantren. Akan tetapi, lebih pada bentuk memberi pembekalan berupa pengetahuan berkaitan dengan IPTEK dan IMTAK bagi para generasi muda (para santri).

Oleh : Munir Atlan(aktif di organisasi IKSTIDA (Ikatan Keluarga Santri) PP. Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep)

 

Pesantren, Pasca Selesainya Jembatan Suramadu

You May Also Like

About the Author: Arudam

Sekedar menulis catatan kecil tentang Madura

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *