Masjid Agung Sumenep, Perpaduan Budaya Antar Bangsa

Masjid Agung Keraton Sumenep

Berkunjung ke kota di ujung timur Pulau Madura ini memang melelahkan. Dibutuhkan tiga jam perjalanan dari pintu keluar Suramadu. Namun rasa capek setelah menempuh perjalanan sekitar 140 kilometer tersebut dipastikan sirna ketika kita tiba di Sumenep.

Menjelang memasuki Sumenep, pemandangan laut yang indah sudah dapat kita nikmati. Jalur utama yang dilalui melintasi bibir pantai yang indah. Dari kejauhan tampak beberapa pulau kecil. Sumenep dikenal memiliki banyak kepulauan baik yang berpenghuni maupun tidak.

Selain pemandangan laut, wisatawan yang menuju Sumenep juga akan menyaksikan kegigihan masyarakat Madura bekerja. Para petani garam, pemilik lahan tembakau hingga pengrajin rumput laut silih berganti dapat kita temui sepanjang jalan.

Sesampai di Sumenep, maka banyak sekali penantian yang membuat pengunjung bakal terkesima. Sebagai kota eks kerajaan besar, peninggalan budaya Sumenep sangat luhur, seperti MASJID Agung Sumenep. Selain itu, beberapa pantai juga bisa dijadikan jujukan lain disamping wisata budaya.

Kunjungan ke wilayah Sumenep terus meningkat. Peningkatan terjadi paling signifikan disebabkan adanya Jembatan Suramadu. Sejak Juni 2009 lalu, wisatawan domestik dan mancanegara mengakui keberadaan Suramadu mempermudah mereka berkunjung ke Madura, khususnya menikmati kota Sumenep.

Masjid Agung Sumenep

Masjid Agung Sumenep

Masjid Agung Sumenep berdiri megah berada di jantung kota. Pembangunannya dimulai pada tahun 1779 M-1787 M oleh Panembahan Sumolo atau juga dikenal bernama Panembahan Asiruddin. Eksotika setiap sudut bangunan Masjid Agung membuat pengunjung betah ada di sana. Tak hanya dijadikan sentra kegiatan agama, tak sedikit pengunjung yang melakukan penelitian sejarah di sana.

Masjid Agung Sumenep adalah masjid tua di Indonesia yang bermakna filosofis setiap detil dan riwayat bangunannya. Masjid yang dahulu namanya Masjid Jami’ dan sebagai masjid Keraton Sumenep ini menyatukan beragam elemen budaya dalam rancang bangunnya, salah satunya Persia, Arab, India, Cina, dan Jawa. Skema ekletis ini ibarat mempresentasikan keanekaragaman etnis yang tinggal di pulau garam itu.

Dampak elemen Arab dan Persia bisa kelihatan pada penempatan kubah kecil di atap bangunan disebelah kanan dan kiri halaman masjid. Beberapa warna kontras yang memadankan merah, hijau, dan emas pada beberapa detil komponen ukir mengingati pada style ornament negeri Cina.

Adapun pengaruh budaya lokal, dalam masalah ini style ciri khas arsitektur Jawa, bisa disaksikan dari wujud atap berpenampilan tajug kerucut lancip membubung tinggi. Atap mode ini lebih banyak diaplikasikan pada beberapa bentuk candi kuno peninggalan peradaban Jawa.

Sisi pokok masjid diperlengkapi tujuh pintu, masing-masing memiliki ukuran 3 meter. Enam jendela yang setiap memiliki ukuran 2 meter. membuat penerangan alami di luar bisa menerobos bebas ke masjid. Dengan demikian, situasi di di dalam ruangan lebih sejuk.

Kelebihan kelihatan di bagian mihrab yang dijepit oleh dua lubuk dan dilapis keramik Cina. Ukir-pahatan pahat batu berbentuk bunga warna merah dan emas makin mengentalkan nuansa Cina. Pas di atas imam ada hiasan pedang. Dulu ada dua pedang di situ, pedang perak Arab dan Cina. Sayang, pedang Cina itu telah lenyap.

Pengaruh Arsitektur Cina di Masjid Keraton Sumenep

Pengaruh kuat dari Cina dalam arsitektur masjid ini mempunyai cerita menarik. Saat itu Panembahan Somala lakukan shalat istikharah dan mendapatkan petunjuk bahwa ada tukang bangunan turunan bangsa Cina yang tinggal di pesisir Dusun Pasongsongan.

Sesudah dicari, rupanya info itu betul. Salah seorang tukang bangunan di dusun itu ialah turunan Cina. Tukang itu namanya Lauw Phia Ngo, cucu Lauw Khun Thing, satu dari enam pemuda yang berasal dari Cina dan tinggal di desa Pasongsongan. Mereka pergi dari dataran Cina karena ada perang besar pada waktu itu.

Panembahan Somala juga minta Lauw Phia Ngo untuk membubuhkan seni pada bangunan masjid. Lauw Phia Ngo lalu membuat pintu gerbang dengan adopsi arsitektur dari beragam bangsa. Pintu gerbang khusus masjid dibuat serupa kelenteng. Ada cungkup khusus di atas bangunan yang turun pada segi kanan dan kirinya, serupa lekukan Tembok Cina.

Pintu gerbang itu salah satunya kreasi Lauw Phia Ngo yang banyak memberikan dampak pada bangunan masjid keseluruhannya. Oleh karenanya, mengunjungi Masjid Agung Keraton Sumenep sebagai rekreasi religius yang bisa memberikan kepuasan batin.

 

Masjid Agung Sumenep, Perpaduan Budaya Antar Bangsa

You May Also Like

About the Author: Arudam

Sekedar menulis catatan kecil tentang Madura

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *